"Mas, setip dong, setip," teriak saya, ketika saya keliru mengisi buku penghubungnya.
Dan dia pun bengong melihat saya.
"Ibu nih bilang apa sih, setip setip," jawabnya.
Dan saya pun tertawa melihat wajah bingungnya. Saya baru sadar kalau dia tidak mengerti arti kata setip.
"Eh, maaf Mas, setip itu penghapus. Minta tolong dong ambilkan, ini ibu keliru ngisi buku penghubungmu."
"Itu bahasa apa Bu?"
"Bahasa Jawa lah," jawab saya.
Seketika, saya ingat kejadian saat saya kecil, ketika saya dan saudara-saudara sepupu berkumpul di rumah Nenek. Saat itu kami beramai-ramai mencoba mengambil buah jambu dengan ketapel. Mendadak ada rombongan burung yang terbang melintas.
"Setip, setip, cepetan setipen," kata saudara sepupu saya.
Saya dan saudara-saudara yang lain bengong. Apanya yang disetip? Jambu? Burung? Dihapus?
"Lhaaa, kesuwen, manuke wis ilang kabeh," kata sepupu saya yang tadi teriak-teriak setip.
(kelamaan, burungnya udah hilang semua)
"Opo to Mas Ais ki, setip setip. Opone sing disetip?"
(Apa sih Mas Ais ini, setip setip. Apa yang mau disetip?)
Iku mau, manuke disetip!
(Itu tadi, burungnya disetip)
"Lha lapo manuk mabur kok disetip?" Tanya saya sambil ketawa.
(Kenapa burung terbang kok disetip?)
"Iki lho, disetip," lanjutnya sambil memegang ketapel.
Oalaaaaah, kami semua tertawa, baru ngerti, kalau disetip itu diketapel.
Hahaha, beda tempat, beda bahasa.
Karena itulah, ada pepatah, dimana bumi diinjak, disitu langit dijunjung.
※※※
Si Mas pun tertawa ngakak ketika mendengar cerita saya.