Friday 12 February 2016

REMAJA atau PEMUDA?


Dulu, saya suka menggunakan kata remaja saat penyuluhan ke sekolah-sekolah setingkat SMP atau SMA. Ya karena judul programnya Puskesmas itu "Kesehatan Remaja". Selain itu, menurut saya, kata remaja adalah kata yang cukup familiar untuk banyak kalangan.




Kata remaja yang sering saya gunakan itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah mulai dewasa; sudah sampai umur untuk kawin. Tapi nyatanya, remaja yang ada saat ini sering digambarkan sebagai seseorang yang masih labil, dan memang kenyataannya hampir semua seperti itu. Anak-anak bukan. Dewasa belum. Dianggap pula merupakan masa pencarian jati diri. (sampai sekarang, saya juga masih berusaha mencari tahu siapa diri saya sebenarnya -- apa itu bisa dikatakan bahwa saya masih remaja?)

Nah, hampir 2 tahun yang lalu, ketika saya membaca buku Mendidik Anak Laki-laki terbitan Aqwam, di dalam buku tersebut dikatakan bahwa Islam tidak mengenal kata remaja. Yang ada adalah kata pemuda. Trus apa bedanya? Pas saya baca aja udah terasa bedanya. Yup, kata "pemuda" rasanya lebih mantap dibanding kata "remaja". Seorang pemuda akan lebih mantap menapaki jalan kehidupan dibanding seorang remaja yang masih suka galau. Bung Karno aja pernah bilang "beri saya 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia". Pemuda kan yang diminta Bung Karno, bukan remaja. Kalo remaja yang diminta oleh Bung Karno mungkin jadinya "apa kata dunia" hehehe....



Setelah membaca buku tersebut, saya mulai suka menggunakan kata pemuda. Namun saya sendiri msih bingung cara menjelaskannya, sampai saya membaca postingan ustadz adriano Rusfi di facebook, yang intinya adalah, anak-anak sekarang ini fisiknya mencapai baligh tapi akalnya belum aqil. Jadi ada kesenjangan di sana.

Ketemu deh jawabannya. Bahwa seorang remaja masih sering dikatakan labil, pencarian jati diri dan lain lain itu, terjadi karena adanya ketimpangan antara fisik dan mentalnya, antara baligh dan aqilnya. Fisiknya udah dewasa, tapi akalnya masih anak-anak. Sedangkan kata pemuda, akil baligh dicapai secara bersamaan, ataupun waktu tercapai keduanya tidak berbeda jauh.

Saat ini rata-rata anak mencapai baligh di usia 10-12 tahun, sedangkan aqilnya baru tercapai di usia 22-25 tahun. Sedangkan pada jaman dahulu, rata-rata aqil baligh tercapai di usia 13-15 tahun. Banyak faktor yang menjadi penyebab ketimpangan ini. Pola pengasuhan yang kurang tepat, over nutrisi, tayangan dan tontonan yang kurang mendidik, yang menyebabkan anak-anak menjadi lebih cepat dewasa dan mencapai baligh nya, plus ketidaktegaan dan rasa sayang orangtua untuk memberikan tanggung jawab kepada anaknya sehingga mereka terlambat mencapai kedewasaan akal dan juga kemandirian.

Rentang waktu yang terlalu jauh antara pencapaian aqil dan baligh ini juga menjadi salah satu faktor timbulnya berbagai permasalahan, seperti kenakalan remaja, penyimpangan seksual, narkoba, dan lain-lain.

Jadi tugas kita sebagai orang tua, adalah mencoba memperlambat balighnya dan segera menyiapkan anak untuk mendapat aqilnya. Kalo kata Ustadz Harry Santosa, kembalikan peran Home Education. Peran rumah sebagai tempat utama membimbing dan mendidik anak. Jangan pernah lagi menyerahkan tugas dan tanggung jawab pendidikan anak pada sekolah. Sekolah berfungsi untuk membantu orang tua.

Bahasan tentang Pendidikan dan Pengasuhan Anak dalam Islam akan saya tulis lebih lanjut. Belum selesai membaca Pendidikan Anak dalam Islam karya Dr. Abdullah Nashih Ulwan :)



No comments:

Post a Comment